Memuliakan Guru, Mungkinkah?

Seorang guru tidak boleh berhenti belajar karena ilmu berkembang dengan sangat cepat mendahului zamannya. Selain harus mengajar dengan cara yang baik dan menyenangkan, guru juga harus menjadi pembelajar yang baik. (Wapres Jusuf Kalla, dalam sambutan puncak peringatan Hari Guru Nasional 2014, Istora Senayan, Jakarta, Kamis, 27/11/2014 dalam http://edukasi.kompas.com/read/2014/11/28/10584321). Seorang pembelajar bukan hanya sekadar membaca, mengetahui, dan memahami teori-teori pembelajaran dan materi pelajaran. Tetapi, harus selalu menghubungkan dengan kehidupan nyata sehari-hari (bersifat kontekstual). Sehingga pengetahuan akan bermakna untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan.

Apa yang diungkapkan Wapres Jusuf Kalla dalam pantun berikut ini, mengindikasikan posisi strategis seorang guru.
Ke hulu membuat pagar,
jangan terpotong batang durian,
Cari guru tempat belajar,
supaya jangan sesal kemudian.
Anak ayam turun sembilan,
mati satu tinggal delapan.
Untuk maju, ilmu jangan ketinggalan,
pada guru kita gantungkan harapan.
(Pantun Wapres Jusuf Kalla, dalam puncak peringatan Hari Guru Nasional 2014, di Istora Senayan, Jakarta, Kamis, 27/11/2014 dalam http://edukasi.kompas.com/ read/2014/11/29/07000051)
Begitu besar harapan digantungkan kepada guru, maka semua pihak harus memiliki persepsi dan langkah yang satu untuk memuliakan guru. Mungkinkah? Untuk itu, janganlah ada politisasi pada posisi guru. Apalagi mutasi sewenang-wenang yang sangat menyakiti hati dan pasti menghancurkan integritas guru dalam melakukan kewajibannya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hendaknya mulai dibangun kesadaran yang mendalam bahwa soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Bangsa Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya. Di pihak lain, para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Sehingga wajib hukumnya menjadi guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa (Anies Baswedan dalam http://edukasi.kompas.com/read/2014/11/27/19532781). Oleh karena itu, semua komponen bangsa hendaknya selalu bangga dan hormat pada guru.

Dalam konteks itulah, guru harus menunjukkan identitas diri yang sesungguhnya, yakni 1) Guru diwajibkan memiliki integritas untuk menghantarkan peserta didik sebagai generasi pembelajar. Jiwa pembelajar terbentuk ketika siswa menerima pelajaran tanpa perasaan terpaksa. Jadikan anak-anak sebagai generasi pembelajar. Dengan perasaan senang datang ke sekolah dan pulang sekolah; 2) Guru harus mampu merevolusi mental siswa menjadi peduli sebagai bagian dari lingkungan; dan 3) Guru dituntut dapat membangkitkan kesadaran siswa sebagai warga negara Indonesia. (Anies Baswedan, http://www.tempo.co/read/news/2014/11/27/079624842/).

Tidak berlebihan, kalau seorang Kahlil Gibran terketuk untuk memberi pesan dan memuliakan profesi guru dengan sebuah puisi untuk kemuliaan.
Guru
Barang siapa mau menjadi guru,
Biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri,
Sebelum mengajar orang lain,
Dan biarkan dia mengajar dengan teladan,
Sebelum mengajar dengan kata-kata.
Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri,
Dengan memperbetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri,
Lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan,
Daripada mereka yang hanya mengajar orang lain,
Dan memperbetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.
Jadi, semangatlah terus para guru,
Jangan menyerah dan teruslah belajar,
Ajari kami dengan ilmu-ilmumu,
Sehingga kami menjadi orang-orang yang akan membanggakanmu.
(Kahlil Gibran)

Terlepas dari upaya membanggakan dan memuliakan profesi guru, ternyata masih banyak fenomena yang menyebabkan guru kecewa dan bahkan menangis. Dinamika politik akibat desentralisasi pendidikan di tingkat kabupaten/kota merupakan salah satu faktor penyebab. Begitu mudah guru dimutasi, dizalimi, bahkan dihancurkan karakternya, hanya karena isu warna berbeda. Tanpa melalui proses penyelidikan dan penyidikan, guru langsung dihukum serta tidak sempat memberikan pembelaan. Sungguh tindakan otoriter yang sangat menyakiti hati para guru. Perlindungan hukum terhadap guru dirasakan masih sangat lemah. Organisasi guru di daerah tak bergigi dan tak bernyali. Akibatnya guru-guru di daerah sering menjadi bulan-bulanan penguasa. Oleh karena itu, ke depan harus ada keberpihakan kepada guru tanpa kepura-puraan. Semoga. (gpa).

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis