PBT, CBT, dan Indeks Integritas UN 2015

Indeks integritas ujian nasionan (IIUN) tahun 2015 yang memiliki makna sama dengan indeks kecurangan, telah dipublikasikan pihak Kemendikbud. Hasil analisis terhadap IIUN menunjukkan bahwa ada dugaan terdapat borok-borok penyelenggaraan UN di tahun sebelumnya yang selama ini sengaja ditutupi. Ada fakta menarik yang patut dicatat dari indeks integritas penyelenggaraan UN tahun 2015. Di mana, provinsi-provinsi yang dulu mendominasi perolehan rerata nilai UN tertinggi, kini tidak muncul sebagai provinsi dengan indeks integritas yang membanggakan. Artinya, tingkat kejujuran pelaksanaan UN di provinsi tersebut patut dipertanyakan. Ada apa ya? Bahkan, untuk pelaksanaan UN tahun 2015, Mendikbud menyatakan bahwa nilai kejujuran pelaksanaan UN SMA tahun 2015 dan sederajat cukup memprihatinkan (http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/18/17381761). Masih ditemukan adanya indikasi kecurangan pelaksanaan UN di sejumlah daerah. Pemetaan hasil UN dan IIUN, menunjukkan bahwa terdapat fenomena hasil nilai UN yang tinggi, namun angka IIUN rendah. Artinya, patut diduga telah terjadi tindak kecurangan (ketidakjujuran) dalam pelaksanaan UN 2015. Hal ini, karena ada kecenderungan tindak kecurangan tersebut sudah biasa terjadi dan selama ini didiamkan atau sengaja didiamkan. Sungguh memprihatinkan.
Selama ini kecurangan dan contek-mencontek menjadi bisik-bisik yang tak pernah diungkap oleh negara. Semua mengetahui itu ada tapi tidak ada yang mau melakukan sesuatu. Kemdikbud memutuskan untuk berhenti diam dan mendiamkan. Mulai sekarang laporan Ujian Nasional akan mengungkap tentang kecurangan selain meneruskan semangat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara terus menerus. (Konfrensi pers Pemanfaatan Hasil UN 2015, 18 Mei 2015). Artinya, sudah ada pengakuan Negara terhadap keborokan penyelenggaraan UN yang selama ini sengaja didiamkan. Oleh karena itu, semua pihak harus melakukan refleksi bahwa kejujuran lebih utama dari sekadar rerata hasil UN. Namun, semangat untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan UN harus terus dikumandangkan seiring dengan peningkatan kualitas kejujuran. Jika hal ini dapat diwujudnyatakan maka kualitas pendidikan yang susungguhnya, tanpa kepalsuan mulai dapat dihadirkan. Inilah sebuah keyakinan.
Indeks integritas ujian nasionan (IIUN),  Indeks integritas memiliki makna sama dengan indeks kecurangan. Artinya, suatu provinsi atau kabupaten atau sekolah dengan nilai indeks integritas atau indeks kecurangan kecil, maka tindak kecurangan yang terjadi juga kecil, dan sebaliknya. Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan batas ideal indeks integritas yang masih dapat ditoleransi. Akan tetapi, pihak Kemendikbud telah meriliis indeks integritas beberapa provinsi yang memiliki nilai indeks integritas kecil, yang berarti tindak kecurangan dalam pelaksanaan UN di provinsi tersebut relatif kecil.
Berikut tujuh provinsi yang memiliki indeks kecurangan pelaksanaan UN tahun 2015 kecil atau berintegritas tinggi, yakni:
1)  Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), dengan indeks kecurangan 1 %;
2)  Provinsi Bangka Belitung (4,5 persen);
3)  Provinsi Kalimantan Utara (11,6 persen);
4)  Provinsi Bengkulu (12 persen);
5)  Provinsi Kepulauan Riau (14 persen);
6)  Provinsi Gorontalo (20 persen);
7)  Provinsi Nusa Tenggara Timur (20,4 persen).
Sedangkan provinsi-provinsi lainnya, memiliki indeks kecurangan di atas atas 21 persen hingga 84,9 persen. Lalu provinsi apakah yang indeks kecurangannya sampai 84,9%? Jangan-jangan provinsi yang selama ini merajai jajaran elit perolehan rerata nilai UN. Ah, sungguh menyakitkan!
Pihak kemendikbud telah menyimpulkan bahwa, indikasi kecurangan hanya terjadi fffrfrpada ujian nasional berbasis kertas atau paper based test (PBT). Sedangkan untuk UN CBT (Computer Based Test) atau ujian berbasis komputer, tidak terjadi kecurangan sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kecurangan UN berbasis komputer adalah nol  persen (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/4194). Oleh karena itu, semakin cepat sekolah melaksanakan CBT, semakin baik. Karena, indeks kecurangan penyelenggaraan UN dapat dijamin sampai 0%.
Artinya, jika sebuah daerah atau sekolah berani menggunakan komputer dalam ujian, berarti daerah atau sekolah tersebut berani jujur dalam ujian nasional. Usaha dalam perbaikan pelaksanaan UN, hendaknya tidak sekadar perbaikan nilai, tetapi juga perbaikan sikap kejujuran. Hal ini penting dalam konteks revolusi mental dan perbaikan ekosistem pendidikan. Oleh karena itu, peserta didik, guru, kepala sekolah dan orang tua harus bahu membahu menumbuhkembangkan kejujuran dalam setiap detak kehidupan. Mudah-mudah, publikasi indeks integritas menjadi efek jera bagi siapapun yang melaksanakan kecurangan dan di pihak lain memberikan efek motivasi untuk senantiasa dengan gagah berani menghadirkan kejujuran.

Lalu bagaimana cara menentukan indeks kecurangan tersebut? Pihak Kemendikbud menjelaskan, bahwa indeks integritas diperoleh dari penilaian keseragaman nilai, pola jawaban siswa, dan kecurangan siswa yang terjadi saat UN. Pendek kata, indeks integritas ditentukan dengan bantuan perhitungan statitstik. Jadi berisfat ilmiah, sehingga layak dipercaya. Oleh karena itu, sudah saatnya semua sekolah, kabupaten, dan provinsi bekerja keras menghadirkan penyelenggaraan UN yang berintegritas tinggi demi revolusi mental. Semoga.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis